11 Maret, 57 tahun yang lalu. Dalam suasana
politik bangsa yang cukup mencekam akibat aksi protes rakyat yang semakin masif.
Presiden Sukarno memiliki agenda sidang dengan Kabinet 100 Menteri-nya yang ditolak
rakyat. Pagi – pagi jelang pelaksanaan sidang Kabinet 100 Menteri, jalanan
menuju Istana Merdeka penuh oleh ribuan mahasiswa menolak kabinet yang
dicurigai masih banyak yang terlibat unsur Gestapu. Para demonstran mendesak
masuk istana (Soebandrio dalam Historia.id, 12 Maret 2021). FYI, pada 10
Januari 1966 rakyat yang dimotori oleh mahasiswa dan pelajar tumpah ruah
melakukan demonstrasi pada pemerintah. Ini merupakan rentetan reaksi rakyat
atas terjadinya peristiwa yang disebut oleh Presiden Sukarno sebagai Gestok
dimana peristiwa ini dilakukan oleh G 30 S/PKI. Tuntutan yang disampaikan
rakyat dikenal sebagai TRITURA (tiga tuntutan rakyat). Dalam isi tuntutannya,
rakyat menghendaki pembubaran organisasi PKI dan segala antek – anteknya.
Pembersihan unsur PKI/komunisme dari kabinet, serta penurunan harga – harga
barang yang saat itu melambung tinggi. Indonesia pada akhir 1965an hingga 1966
memang menghadapi inflasi terburuk sepanjang sejarah yang menyentuh angka 600%.
Kembali ke pagi 11 Maret 1966 yang sudah nampak
ketegangan di pusat ibukota. Berbagai sumber menyebutkan aksi demo para
mahasiswa ini tidak dilakukan sendiri, namun juga ditngganggi oleh pasukan
bersenjata lengkap serta berseragam loreng namun tanpa tanda pengenal. Pasukan
ini menyebar diantara para demonstran. Masih menurut Soebandrio (menjabat
Waperdam I), istana dikepung sedemikian rupa oleh para demonstran dan pasukan
tanpa tanda pengenal ini. Pasukan ini berhadap – hadapan dalam jarak dekat
dengan pasukan Cakrabirawa (kini Paspampres). Sebegitu mencekam suasana sidang
kali ini, sehingga menurut kesaksian A.M Hanafi (menjabat Dubes Kuba) yang saat
itu hadir diminta mendampingi oleh Chaerul Saleh (Waperdam III) beberapa
menteri yang berpapasan dengannya, diketahui menyelipkan pistol dalam kemeja
meraka. “Sidang kabinet kali ini penting
sekali … der op of der onder (menang atau kalah)”, ujar Chaerul Saleh pada Hanafi.
Rapat kabinet yang dihadiri lebih dari 100 menteri
itu dimulai pukul 10.00 WIB, juga dihadiri para panglima angkatan bersenjata.
Kecuali Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), Soeharto. Yang saat itu
izin karena sedang flu. Lagi – lagi tindakan Soeharto ini dianggap sangat
mencurigakan oleh beberapa ahli, setelah keanehan sebelumnya bahwa dalam
tragedi dini hari 1 Oktober 1965 sebelumnya. Soeharto tidak termasuk dalam
daftar target perwira tinggi AD oleh Gerakan 30 September.
Menurut sejarawan Lambert Giebels (dikutip dari
Historia.id) dalam rapat itu dibicarakan tindakan konkret yang harus diambil
dalam menghadapi aksi demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang berkelanjutan.
Setelah 20 menit berpidato, komandan pasukan Cakrabirawa – Brigjen Saboer –
menghampiri Sukarno sambil membawakan secarik kertas. Dari situlah rumor
pasukan liar tanpa identitas sampai ke telinga Sukarno. Singkat cerita, sidang
kabinet diskors. Palu pimpinan sidang diserahkan pada waperdam II Johanes
Leimena yang melanjutkan memimpin sidang hingga siang hari. Demi alasan
keamanan, Sukarno meninggalkan istana dengan menggunakan helikopter bersama
waperdam I dan III, Soebandrio dan Chaerul Saleh menuju istana Bogor. Kendaraan
ini tentu saja dianggap yang paling aman membawa presiden ke Bogor mengingat
istana telah dikepung oleh ribuan demonstran.
Tiga panglima tinggi yang juga menjabat posisi
strategis dalam pemerintahan Orde Lama yakni Mayjen Basuki Rachmat (Menteri
Urusan Veteran), Brigjen M. Jusuf (Menteri Perdagangan), dan Brigjen Amir
Machmud (Panglima Kodam V Djaja) kemudian menyusul presiden ke Bogor. Ketiga
panglima ini mampir menemui Soeharto
di kediamannya yang merupakan atasannya untuk meminta izin terlebih dahulu
sebelum berangkat ke Bogor. Mayjen Basuki Rachmat menanyakan apakah ada pesan
khusus dari Letjen Soeharto untuk presiden, sang perwira hanya menjawab “Sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan
saya. Beliau akan mengerti” (Buku Teks Sejarah Indonesia kelas XII). Malam
harinya, sekembalinya dari Bogor ketiga perwira ini membawa teks Supersemar
yang melalui Supersemar inilah dalam waktu yang tidak lama masa kekuasaan Orde
Lama
rungkad, digantikan oleh
hegemoni Orde Baru dibawah kepemimpinan Sang Jenderal.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam (dikutip oleh
Hendri F. Isnaeni dalam Historia.id) ada tiga kontroversi seputar Supersemar,
yaitu teksnya, proses mendapatkannya, dan interpretasi perintah dalam surat
itu. Menurut Asvi, pertama naskah otentik Supersemar sampai sekarang belum
diketahui keberadaannya. Ada tiga versi yang disimpan oleh ANRI meskipun
setelah diuji di laboratorium forensik mabes POLRI ketiganya tidak otentik
alias palsu. Kemudian yang kedua menurut Asvi, Supersemar diperoleh dengan cara
tekanan terhadap Presiden Sukarno. Sebelum ketiga perwira tinggi AD seperti
disebutkan sebelumnya yang mendapatkan teks tersebut, ternyata telah didahului
upaya dari pengusaha yang dekat dengan Sukarno bernama Hasjim Ning dan Dasaad.
Mereka meminta Sukarno menyerahkan kekuasaan pada Soeharto. Diketahui, Bung
Besar Pemimpin Revolusi sampai marah dan melemparkan asbak serta menuduh kedua
karibnya ini telah memihak Soeharto. Paling akhir yang ketiga, interpretasi
atau penafsiran atas perintah dalam surat ini. Asvi Warman Adam berpendapat,
teks fotokopi Supersemar yang tersimpan di ANRI meskipun terdapat berbagai
versi tetap memiliki substansi isi yang sama. Pemberian tugas kepada Menpangad
untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan keselamatan presiden Sukarno untuk
kemudian melaporkan hasil pelaksanaan tugas tersebut kepada presiden. Itu yang
tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh Jenderal Soeharto.
Kesaksian juga muncul dari istri Bung Karno, Ratna
Sari Dewi yang dikutip sejarawan Jepang Aiko Kurasawa. Pada 20 Maret 1966
beberapa hari setelah teks Supersemar diserahkan pada Soeharto, diatur rencana sebuah
pertemuan antara Soeharto dengan ibu Dewi. Mereka bertemu sambil bermain golf.
Pada pertemuan itu berdasarkan keterangan ibu Dewi, Soeharto menawarkan 3 opsi
agar dipilih Sukarno. Pergi ke luar negeri untuk beristirahat, tetap tinggal
tapi sebagai presiden sebutan saja, atau mengundurkan diri secara total.
Soeharto merekomendasikan opsi yang pertama, dan menyarankan Jepang atau Makkah
sebagai tempat istirahat.
Salah kaprah tafsiran atas Supersemar ini
menyebabkan kekacauan hingga muncul dualisme kepemimpinan nasional di
pemerintahan Indonesia. Rakyat terbelah, antara pendukung Sukarno dan Soeharto.
Mirisnya, dalam sidang MPRS pada akhir Juni hingga awal Juli 1966 memutuskan
menjadikan Supersemar sebagai ketetapan (Tap) MPRS. Dengan demikian secara
hukum, supersemar tidak lagi dapat dicabut sewaktu – waktu oleh Presiden
Sukarno. Bahkan secara hukum, Jenderal Soeharto memiliki kedudukan yang sama
dengan Presiden Sukarno, yakni mandataris MPRS.
Demikianlah berbagai kontroversi yang mengiringi
Supersemar. Menoleh ke belakang, menyimak sejarah dan mengambil hikmahnya. Kita
bisa menyimpulkan bahwa kekuasaan itu memabukkan. Jika tidak diiringi dengan
iman, dan perasaan takut pada Allah sang Hakim maka kekuasan adalah hal paling
ambisius yang diinginkan manusia. Berbagai hal dapat diatur sekenanya sesuai
kehendak penguasa.
Mengutip
dari Gontornews.com, kepemimpinan dan kekuasaan adalah milik Allah semata. Pada
saatnya kekuasaan dan kepemimpinan itu akan diminta kembali. Bahkan Al Qur’an
menyebutkan dalam Surah As-Syura : 42 ”Sesungguhnya, dosa itu atas
orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi
tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.”
Kepemimpinan dan kekuasaan bukanlah
kehormatan, melainkan amanat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia maupun
di hari akhir nanti. Allah SWT niscaya memuliakan para pemimpin dan penguasa
yang amanah di dunia dan akhirat. Beruntunglah pemimpin yang menjaga amanat dan
rugilah yang khianat.
Sumber rujukan :
Buku teks Sejarah Indonesia Kelas XII terbitan
Kemendikbud, 2018.
Historia.id – berbagai artikel.
Gontornews.com
red. Nizza Nadzillah Dzikrullah